MUHASABAH
Saudaraku,
Kita sadari bahwa kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Tuhan semesta alam. Apakah menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya. Karena dunia ini adalah _daarul ibtilaa’_ (negeri tempat ujian dan cobaan). Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.”
(QS. Al-Anbiya: 35)
Ikrimah rahimahullah pernah mengatakan,
ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبر
“Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”
Senang dan duka adalah sunatullah yang pasti mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka dan kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti. Maka sudahilah sedihmu...
Saudaraku,
Allah Azza wa Jalla yang menciptakan kebahagiaan dan kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya Kesedihan diciptakan agar ia tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia mengadu harap di hadapan Allah Azza wa Jalla. Merendah merengek di hadapan Allah Azza wa Jalla, bersimpuh pasrah,
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ
“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku.”
(QS. Yusuf: 86)
Ada saja hikmah dalam ketetapan Allah Azza wa Jalla Yang Maha Hakim (bijaksana) itu,
وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ
“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis.”
(QS. An-Najm: 43)
Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman,
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَهُوَ الْمُؤْمِنُ
“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.”
(HR. Tirmidzi)
Atau seorang merasa sedih saat menyia-nyiakan waktu, tertidur di sepertiga malam terakhir hingga luput dari sholat tahajud, ini suatu hal yang terpuji. Ini tanda adanya cahaya iman dalam hatinya...
Yang tercela adalah saat kita larut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Hingga membuat hati kita lemah, tekad meredup, rasa optimis menghilang, kesedihan yang menghancurkan harapan. Sampai membuat kita tidak ada ikhtiar untuk mengubah keadaan...
Yang tercela kesedihan yang membuatnya lemah untuk meraih ridha Allah Azza wa Jalla, bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci iradah Allah Azza wa Jalla. Karena seringkali setan memanfaatkan kesedihan untuk menjerumuskan manusia. Oleh karenanya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari rasa sedih. Di antara doa yang sering dipanjatkan Nabi adalah,
اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن ...
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari gundah gulana dan rasa sedih.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak perlu berlama-lama memendam kesedihan dalam hati kita. Banyak yang tak menyadari, ternyata setan senang melihat seorang Mukmin bersedih. Ia amat menginginkan kesedihan itu ada pada kita...
Saudaraku,
Ternyata bila kita amati, kata-kata sedih dalam Al-Qurán tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif (peniadaan). Sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Madaarijus Saalikiin...
Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah Azza wa Jalla,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)
وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ
“Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka.”
(QS. An-Nahl: 127)
Kemudian firman Allah Azza wa Jalla,
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”
(QS. At-Taubah: 40)
Adapun dalam konteks kalimat negatif (peniadaan) misalnya firman Allah Azza wa Jalla,
لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Mereka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(QS. Al-Baqarah: 38)
Apa rahasia dari semua ini? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
وسر ذلك أن الحزن موقف غير مسير، ولا مصلحة فيه للقلب، وأحب شيء إلى الشيطان :أن يحزن العبد ليقطعه عن سيره ويوقفه عن سلوكه، قال الله تعالى : {إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا }
Rahasianya adalah, karena kesedihan adalah keadaan yang tidak menyenangkan, tidak ada maslahat bagi hati. Suatu hal yang paling disenangi setan adalah, membuat sedih hati seorang hamba. Hingga menghentikannya dari rutinitas amalnya dan menahannya dari kebiasaan baiknya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا
“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita.”
(QS. Al-Mujadalah: 10, Madaarijus Saalikiin hlm. 1285)
Saudaraku,
Islam Menginginkan kita bahagia. Bersyukurlah kita atas nikmat Islam. Karena Islam adalah agama yang menginginkan kita untuk senantiasa bahagia. Allah Azza wa Jalla tak ingin melihat hamba-Nya bersedih hati. Oleh karenanya, Islam diturunkan untuk membawa kebahagiaan bagi segenap makhluk, bukan untuk menyusahkan. Allah Azza wa Jalla berfirman,
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ
“Kami tidaklah menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk membuatmu susah.”
(QS. Thaha: 2)
Artinya, Islam diturunkan untuk membuat kita bahagia. Bahkan, saat seorang jauh dari Islam, saat Itulah kesedihan hakiki akan menghampirinya, dia memang pantas untuk mendapat kesedihan,
Bila kita perhatikan sebuah hadis Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka kita bisa memyimpulkan sebuah kesimpulan yang indah. Di mana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى رَجُلَانِ دُونَ الْآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ أَجْلَ أَنْ يُحْزِنَهُ
“Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbicara/berbisik bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih.”
(HR. Bukhari no. 6290 dan Muslim no. 2184)
Sekedar berbisik bila membuat saudaranya sedih saja dilarang. Ini menunjukkan bahwa Islam begitu menjaga perasaan penganutnya dan amat menginginkan kebahagiaan dalam hati setiap insan. Bahkan Allah Azza wa Jalla senang melihat tanda-tanda bahagia, itu tampak dalam diri kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya pada seorang hamba.”
(HR. Tirmidzi dan An Nasai)
Maka betapa indahnya Islam, agama yang mencintai kebahagiaan pada diri kita, dan mengenyahkan kita dari duka cita, di dunia dan di akhirat...
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita senantiasa ridha dan bahagia menerima segala iradah-Nya untuk meraih ridha-Nya...
Aamiin Ya Rabb.
Wallahua'lam bishawab
0 Komentar